by : muhaimin iqbal- geraidinar
Ternyata bukan hanya agama kita Islam yang menolak
kapitalisme itu, orang Nasrani-pun menolaknya. Setidaknya ini terungkap dari
serangan Paus Francis dalam pernyataannya sepanjang 84 halaman yang dikeluarkan
dua hari lalu. Dalam pernyataan keras tersebut, Paus menyebut kapitalisme yang
tidak terkendali telah menciptakan tirani baru. Ekonomi ekslusif
dan ketidak setaraan kapitalisme bahkan bisa membunuh.
Paus
mencontohkannya betapa warga tunawisma di negeri kaya bisa mati kedinginan tanpa
mendapat-kan perhatian juru warta, sementara ketika pasar saham turun 2 poin
saja beritanya ke seluruh dunia.
Bisa jadi
pemikiran Paus ini mewakili kedekatan orang Nasrani dengan orang beriman untuk
jaman ini – khususnya dalam bidang pemikiran ekonomi, seperti yang dimaksud dalam ayat berikut
:
“Pasti akan kamu dapati orang-orang yang
paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang
Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan pasti akan kamu dapati yang paling dekat
persabahatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata:
"Sesungguhnya kami ini orang Nasrani". Yang demikian itu disebabkan karena di
antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan
rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.”
(QS 5:82)
Bila
ternyata ajaran Nasrani-pun menolak kapitalime seperti juga Islam menolaknya,
gabungan dari dua agama ini mewakili 3.6 milyar orang atau lebih dari separuh
penduduk bumi, lantas sebenarnya untuk siapa kapitalisme itu ?
Kemungkinan
terbesarnya ya untuk para pihak yang disebut dalam ayat tersebut di atas yaitu
orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Orang-orang Yahudi atau systemnya
sampai sekarang-pun jelas siapa dan apanya, lantas siapa orang-orang musyrik itu
di jaman ini ? Mereka adalah orang-orang yang mempertuhankan apapun selain
Allah.
Dalam
bidang ekonomi tuhan-tuhan selain Allah itu bisa berupa uang atau modal, pasar,
peraturan, pekerjaan, system dan semua yang tidak merujuk kepada pengaturan
Allah.
Lantas
bagaimana kita bisa mendeteksi bahwa suatu ekonomi itu kapitalisme atau bukan
?
Kapitalisme
sebenarnya bukan barang baru, ekonomi
kota Yathrib - Madinah sebelum Hijrahnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
ke kota itu – adalah sudah berupa ekonomi kapitalisme.
Yaitu ketika segelintir orang Yahudi mendominasi ekonomi kota dalam tiga areanya
yaitu produksi, pasar dan modal.
Jadi
keberadaan kapitalisme dalam suatu system ekonomi itu mudah dideteksi dengan
tiga indikatornya yaitu akses terhadap produksi, akses terhadap pasar dan akses
terhadap modal.
Bila
dalam system ekonomi, yang bisa memproduksi barang atau jasa hanyalah yang
bermodal besar maka itulah kapitalisme. Bila yang bisa berjualan di pasar hanya
orang-orang yang memiliki uang untuk membeli atau menyewa tempatnya – maka
itulah kapitalisme. Bila yang memiliki akses modal adalah segelintir orang –
sehingga modal terakumulasi pada yang sedikit ini - sedangkan yang lain tidak memiliki kesempatan
yang sama, maka itulah kapitalisme.
Lantas
apa bedanya kapitalisme itu dengan system Islam yang juga memungkinkan orang
menjadi sangat kaya sehingga otomatis memiliki akses modal yang kuat, akses
produksi dan pasar yang tentu juga sangat luas ?
Bedanya
sekali lagi dapat merujuk pada sejarah kota Madinah, bagaimana sebelum Hijrahnya
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ekonominya dicengkeram oleh segelintir Yahudi,
dalam sekitar tiga dasawarsa kemudian ada sahabat yang menjadi sangat kaya
sehingga seluruh penduduk kota Madinah bersyirkah dengannya – yaitu Abdurrahman
bin ‘Auf.
Disitulah
perbedaan utamanya. Ketika kapitalisme itu menguasai modal, produksi dan pasar –
maka dia kuasai untuk dirinya sendiri atau paling banter kelompoknya.
Orang-orang diluar dirinya atau kelompoknya menjadi target eksploitasi semata,
dijerat dengan rentenya, dibuat tergantung pada produknya dan dijadikan target
pasar semata untuk produk-produk yang dihasilkannya.
Dalam
Islam, ketika orang bisa sekaya Abdurrahman Bin ‘Auf sekalipun, hartanya untuk
memberdayakan orang lain – bersyirkah itu kuncinya. Membuat orang lain setara –
dalam syirkah - dengan dirinya, bukan orang yang ditekan dalam cengkeraman
rente.
Akses
pasarnya yang luas digunakan untuk memenuhi kebutuhan umat secara luas, bukan
untuk meng-eksplotasinya. Pernah diceritakan kota Madinah tiba-tiba hiruk pikuk
oleh kafilah perdagangan yang sangat banyak – yang didatangkan oleh Abdurrahman
bin ‘Auf – untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota itu yang lagi
paceklik.
Lantas
bagaimana kita mengembangkan ekonomi kita di jaman yang sudah begitu kuatnya
kapitalisme mencengkeram ekonomi kita ? Jawabannya sederhana, yaitu kembali
mencontoh bagaimana Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengubah kota Yathrib atau Madinah pra Hijrah –
dari cengkeraman kapitalisme Yahudi, menjadi ekonomi yang penuh keberkahan yang
mengikuti petunjuk-petunjuk Allah dan
RasulNya.
Sederhana
jawabannya, namun menjadi tantangan tersendiri di jaman ini untuk
mengimplementasikannya. Tidak mudah memang, tetapi insyaAllah bukannya tidak
mungkin untuk diwujudkan kembali. InsyaAllah.
0 komentar:
Posting Komentar