Kamis, 31 Januari 2013
Apakah kita perlu redenominasi????...3 digit atau 4 digit???
By : Muhaimin iqbal- gerai dinar
Untuk menjawab pertanyaan ini menurut saya biar-lah
ahlinya yang menjawab yaitu Bank Indonesia. Jangan biarkan para politikus yang
menjawabnya, karena justru akan membuat issue redenominasi ini menjadi bola liar
yang tidak menguntungkan ekonomi dan tidak menguntungkan rakyat.
Salah
satu cara untuk melihat perlu tidaknya redenominasi dilakukan adalah dengan
mengukur daya beli uang fiat terhadap suatu komoditi baku (atau sekelompok
komoditi) yang nilainya stabil sepanjang masa. Karena data yang saya punya untuk
contoh stabilitas harga sepanjang zaman itu adalah kambing dan emas, maka saya
dapat gunakan salah satunya untuk membuat analisa perlu tidaknya redenominasi
ini. Diantara keduanya saya pilih emas karena datanya lebih lengkap dan dapat
Anda verifikasi dengan berbagai sumber data lainnya seperti kitco.com
dlsb.
Pertama
saya ambil data harga emas per-gram dalam dua mata uang yaitu Rupiah dan US$
selama 40 tahun terakhir. Mengapa 40 tahun ?, karena sejak 40 tahun lalu tepatnya Agustus 1971 mata uang
fiat dunia dilepas kaitannya dari standar emas. Sejak saat itulah
uang fiat di seluruh dunia bergerak liar, sebagian lebih terkendali dari
sebagian yang lain.
Data-data
tersebut kemudian saya sajikan dalam grafik logaritmik dimana jarak satu
gridline yang satu dengan gridline dibawahnya adalah kelipatan 10
– atau merepresentasikan satu angka nol. Hasilnya perhatikan pada grafik pertama
dibawah. berikut kami lampirkan data grafik di tahun 2010 yaaa, ketika harga emas tidak setinggi harga sekarang
Log Chart on Rupiah and US$ Gold Price
Perhatikan
pada grafik US$ yang hanya melewati satu gridline sepanjang 40 tahun
terakhir. Hal ini karena dalam US$ harga emas ‘hanya’ mengalami kenaikan 33 kali
selama 40 tahun terakhir. Sebaliknya Rupiah menerobos 3 gridlines selama
40 tahun terakhir yaitu tahun 1973, 1980 dan 1998. Hal ini terjadi karena dalam
rentang waktu 40 tahun yang sama harga emas dalam Rupiah mengalami kenaikan
sampai 790 kalinya. Apa maknanya ini ?.
Negara-negara
yang berhasil menekan inflasinya pada angka yang relatif rendah dalam waktu yang
panjang akan semakin jarang menabrak gridline tersebut – negara semacam
ini memang tidak memerlukan redenominasi pada mata uangnya. Tidak demikian
halnya bagi negara yang rata-rata inflasinya tinggi, jumlah angka nol dalam mata
uangnya (yang direpresentasikan dengan banyaknya gridlines yang ditabrak)
akan terus bertambah sehingga apa bila dibiarkan terus akan menjadi tidak wajar.
Mata uang dari negara semacam ini – termasuk diantaranya Rupiah kita – perlu di
redenominasi dari waktu ke waktu.
Lantas
kapan sebaiknya redenominasi ini dilakukan ?, lagi-lagi saya gunakan harga emas
untuk menentukan kapannya – yaitu pada saat harga emas melewati gridline
tertentu yang dipandang sudah terlalu tinggi dalam mata uang yang bersangkutan.
Bila persentuhan pada gridline ini bersamaan dengan situasi ekonomi dan
inflasi yang stabil, maka namanya adalah redenominasi. Tetapi bila
persentuhannya bersamaan dengan gonjang-ganjing ekonomi dan inflasi tinggi –
maka namanya adalah sanering.
Redenomination Scenarios
Itulah
sebabnya ketika terjadi di tahun 1965/1966 namanya sanering; kemudian sempat
mencuat issue sanering pula pada puncak krisis 1997/1998 karena saat itu inflasi
sempat mencapai angka 78 %. Karena fokus tulisan ini adalah penghilangan
beberapa angka nol tanpa mengurangi daya beli dan dilakukan pada saat ekonomi
yang relatif stabil atau disebut redenominasi dan bukan sanering; maka
berdasarkan grafik yang kedua diatas, kita dapat melihat ada dua waktu yang baik
sebenarnya untuk melakukan redenominasi yaitu pada tahun 1983 dan
2004.
Pada
tahun 1983 harga emas per gram dalam Rupiah adalah Rp 12,242/gram dan dalam
Dollar adalah US$ 13.64. Bila tiga angka nol dalam uang Rupiah dihilangkan saat
itu, maka harga emas dalam Rupiah akan menjadi Rp 12.24/gram , sedangkan dalam
Dollar akan tetap US$ 13.64. Artinya bila Rupiah di redominasi pada tahun 1983
dengan membuang tiga angka nol, maka nilai tukar Rupiah saat itu menjadi 1 US$ 1
= Rp 0.90 ,- keren bukan...?.
Tahun
1983 negeri ini tidak memandang perlu melakukan redenominasi, begitu pula
dipuncak krisis 15 tahun kemudian – kita tetap tidak merasa perlu melakukan
redenominasi secara terpaksa atau sanering, kesempatan berikutnya adalah tahun
2004 pada saat harga emas dalam Rupiah mencapai Rp 102,000/gram dan dalam Dollar
berada pada angka US$ 13.17/gram.
Bila
redenominasi dengan membuang tiga angka nol dilakukan saat itu, maka harga emas
dalam Rupiah akan menjadi Rp 102.00/gram dan dalam US$ tetap US$ 13.17 atau
nilai tukar Rupiah menjadi US$ 1 = Rp 7.74. Karena hal inipun tidak ada yang
merasa perlu melakukannya pada tahun 2004, maka kini seperti yang Anda lihat
pada grafik – harga emas (yang merepresentasikan harga-harga kebutuhan manusia)
sudah berada di separuh perjalanan menuju gridline
berikutnya.
Seandainya-pun
dilakukan pada tahun 2004 dengan membuang tiga angka nol, nilai tukar kita tahun
tersebut belum keren-keren amat karena masih US$ 1 = Rp 7.74. Didorong oleh
rata-rata inflasi Rupiah yang lebih tinggi dibandingkan dengan Dollar, saat ini
nilai tukar tersebut diperkirakan sudah mencapai US$ 1 = Rp 9.15.
Redenominasi
baru akan memberikan nilai tukar Rupiah yang keren dikisaran US$ 1,- = Rp 1,-
adalah seandainya pada tahun 2004 tersebut otoritas negeri ini mau
me-redenominasi Rupiah dengan membuang 4 angka nol dan bukan 3 angka nol !. Efek
dari ini maka harga emas di tahun tersebut akan menjadi Rp 10.20/gram sementara
harga emas dalam Dollar masih US$ 13.17/gram; atau nilai tukar Rupiah saat itu
menjadi US$ 1,- = Rp 0.77,-. Kemudian karena efek inflasi Rupiah yang lebih
tinggi, bila hal tersebut dilakukan di tahun 2004 – maka saat ini kita akan
memiliki nilai tukar Rupiah yang keren yaitu pada angka perkiraan US$ 1,- = Rp
0.92,-
Well,
karena tidak ada yang melakukannya tahun 1983, juga 2004 – maka kalau ada yang
melakukannya sekarang – ini masih lebih baik terlambat daripada tidak sama
sekali. Akan menyakitkan dan tidak popular memang, tetapi dalam beberapa tahun
mendatang pengguna Rupiah akan mensyukurinya karena keberanian otoritas tahun
–tahun sebelumnya. Sama dengan besyukurnya kita saat ini – alhamdulillah
pemerintah negeri ini tahun 1965 berani melakukan sanering Rupiah, bila tidak
maka uang yang Anda berikan ke Pak Ogah-pun bukan lagi Rp 1,000,- tetapi Rp
1,000,000,- !. Wa Allahu A’lam.