Pergerakan dinar

Tabungan M-Dinar

Minggu, 26 Februari 2012

Mungkinkah menerapkan dinar emas pada saat ini?...Untuk memakmurkan perekonomian dunia Islam..


Sejak keruntuhan sistem emas (Bretton Wood) tahun 1971 praktis sistem moneter internasional bertumpu pada mata uang Dolar AS. Sejak itu dolar menjadi primadona pada hampir semua negara di dunia sebab semua mata uang dunia mayoritas ditambatkan dengan Dolar. Alasan penetapan dolar sebagai pengganti emas adalah karena Amerika saat itu merupakan negara dengan kekuatan ekonomi yang besar dengan ditunjukkan posisi GDP mencapai 20% GDP dunia dan juga dolar dianggap mata uang yang relatif stabil dibanding mata uang lainnya.

Konsekuensinya mayoritas negara di dunia menyimpan cadangan devisanya dalam bentuk dolar. Termasuk juga semua transaksi internasional seperti ekspor impor, perdagangan minyak, dan jasa keuangan menggunakan Dolar AS sebagai alat transaksi. Sehingga, secara tidak langsung ada keterkaitan yang cukup tinggi dari semua negara tersebut terhadap stabilitas dolar.

Munculnya kekhawatiran itu karena instabilitas dolar akan mendorong instabilitas mata uang di seluruh dunia dan juga ekspor inflasi ke seluruh dunia serta beban ekonomi yang terjadi di AS akan dibayar oleh miliaran penduduk dunia. Adilkah?

Menyikapi ketidakadilan tersebut banyak pengamat mencoba untuk mencari sistem moneter global yang relatif dapat dijadikan pengukur nilai dan penyimpan nilai yang stabil. Meera (2002) dalam bukunya “The Theft of Nation” menyebutkan setidaknya ada lima kriteria yang patut dimiliki agar suatu komoditas dapat secara efektif berfungsi sebagai uang, yaitu
(1) terstandarisasi, artinya nilainya dapat diketahui dengan mudah,
(2) diterima secara umum,
(3) mudah dipecah nilainya,
(4) mudah dibawa, dan
(5) nilainya tidak mudah tergerus dengan cepat. Apakah emas layak dijadikan uang.

Sebenarnya emas telah memainkan peran yang penting dalam peradapan dunia. Bahkan, sejak zaman Nabi Muhammad SAW masyarakat Arab menerima koin emas (dinar) yang dikeluarkan oleh Kekaisaran Bizantium Romawi. Namun, penerbitan Islamic dinar sendiri baru dilakukan 50 tahun setelah wafatnya Nabi. Tepatnya 75 Hijrah (696 M) yaitu pada saat Khalifah Abd al-Malik ibn Marwan. Dengan demikian ‘Dinar Emas’ bukan hal yang baru. Tetapi, karena peranan fiat money yang sangat kuat maka ‘Dinar Emas’ seakan tenggelam.

Maka dari itu ‘Dinar Emas’ sangat memungkinkan untuk direalisasikan sebagai mata uang pengganti Dolar AS atau Euro yang merupakan hard currency (fiat money) dengan menganalisis dan membandingkan kelebihan ‘Dinar Emas’ dan kelemahan fiat money.

Secara historis fiat money adalah uang kertas dan koin yang dicetak oleh bank sentral tanpa dijamin oleh apa pun (creating out without nothing). Setiap fiat money yang dicetak oleh Bank sentral sebenarnya merupakan beban (utang) bagi perekonomian. Transmisi penciptaan utang ini melalui intrumen moneter yang dinamakan Reserve Requirement Policy.

Intrumen ini secara tidak langsung bank sentral memaksa perbankan untuk mengendarkan dana melebihi kapasitas perekonomian. Padahal kemampuan perekonomian terbatas dalam menghasilkan barang dan jasa. Lebih parah lagi pencetakan uang ini juga dapat dilakukan oleh perbankan melalui pemberian jasa kredit. Sehingga, secara otomatis perekonomian yang telah mencapai full employment capacity tidak dapat menyerap kelebihan likuiditas tersebut.

Secara otomatis inflasi dan gelembung aset (bubble asset) terjadi. Fenomena inflasi ini tentunya membuat kepanikan dan kegagalan sistem perekonomian. Sehingga, wajar bila pengangguran dan pemutusan hubungan kerja menjadi pilihan sebagai dampat ikutan atas ketidakmampuan perekonomian menyerap kejutan (shock).

Gejolak nilai tukar pun tak dapat dihindari ketika inflasi terjadi yaitu berupa depresiasi nilai tukar domestik dan terjadi pengurasan cadangan devisa seperti yang terjadi di Indonesia tahun 97/98. Seketika juga beban utang dalam denominasi asing meningkat pesat yang pada gilirannya banyak perusahaan menjadi bangkrut (default).

Pemerintah dalam hal Bank Indonesia sebagai stabilisator dan the lender of the last resort tentunya berusaha mengembalikan stabilitas tersebut dengan mengorbankan anggaran-anggaran yang sedianya untuk pelayanan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Tentunya masih dalam ingatan kita bahwa saat krisis 97/98 pemerintah telah menghabiskan dana sebesar 12% GDP (IMF, 2000).

Secara tidak langsung inflasi yang dimotori oleh fiat money telah memakan biaya yang tidak sedikit dan merampok (theft) kekayaan dan kesejahteraan suatu negara. Selama ini apakah kita tidak menyadari bila Bank Indonesia hanya sibuk dan sibuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah tanpa pernah memikirkan biaya yang dikeluarkan akibat instabilitas tersebut serta akhirnya mengabaikan untuk membangun suatu sistem yang mampu menjaga dan mengarahkan stabilitas nilai tukar secara permanen.

Namun demikian kita juga masih bersyukur karena dari sekian banyak negara korban krisis ekonomi hanya Malaysia yang mencoba membangun sistem moneter yang berkeadilan. Hal ini dituangkan dengan pernyataan Perdana Menteri Dato DR Mahathir Bin Mohammad yang menyadari akan kebobrokan sistem fiat money sehingga perlu dipikirkan padanannya yaitu sistem ‘Dinar Emas’.

Dalam pidatonya dia dengan tegas mengatakan bahwa selama ini negara-negara di dunia telah ditipu dengan penggunaan fiat money karena hanya menguntungkan negara-negara maju. Khususnya AS. Sudah saatnya dunia memikirkan sistem mata uang yang memiliki nilai intrinsik sehingga peredaran dan nilainya dapat dikontrol.

Pendapat senada juga pernah disampaikan oleh Umar Ibrahim Vadillo seorang Ilmuwan Islam dari Spanyol pada kuliah di International Islamic University Malaysia (IIUM). Sesungguhnya setiap dolar yang dicetak oleh The Fed adalah inflasi yang harus dibayar oleh seluruh penduduk dunia. Setiap utang yang dilakukan oleh Amerika Serikat adalah beban hutang bagi semua negara-negara di dunia. Penyebabnya hanya karena Dolar AS tidak bernilai apa pun selain karena nominalnya sendiri.

Sebaliknya emas dipercaya dapat meminimalkan risiko moneter dibandingkan pada fiat money. Hal ini karena emas memiliki karakteristik yang memenuhi persyaratan ideal sebagai uang, yaitu:
(1) Emas memiliki nilai intrinsik yang nilainya tidak diragukan. Berdasarkan hukum Islam, satu dinar setara dengan 4,22 gram (0,135 ons) emas murni atau 1 spesial drawing right (SDR). Sehingga, wajar bila semua negara sangat menginginkan untuk menimbun emas sebanyak mungkin,
(2) Keberadaanya langka (rare) sehingga ia tidak mudah untuk diperoleh,
(3) Bersifat padat, artinya padat secara struktur dan bernilai besar sehingga untuk membeli barang bernilai besar cukup mengambil sedikit bagian dari emas,
(4) Penyimpan nilai yang aman,
(5) Tidak mudah rusak bahkan tahan lama walaupun telah ditransaksikan berulang kali,
(6) Emas tidak dapat diciptakan dan dirusak. Artinya emas tidak dapat dicetak dan berkurang nilainya sekehendak manusia sebab ia memerlukan proses dan bernilai intrinsik. Dengan demikian perekonomian secara otomatis akan terjaga dari percetakan uang tanpa dasar atau jaminan barang yang jelas,
(7) Terakhir karena kestabilannya. Hal ini berdasar riwayat oleh Imam Bukhari bahwa suatu ketika Rasulullah menyuruh Urwah membeli kambing seharga 1 dinar. Dengannya Urwah mendapat 2 kambing dan bila diasumsikan kambing berukuran sedang harganya setengah dinar maka tidak akan jauh berbeda bila dibandingkan sekarang. Karena, 1 dinar saat ini telah mencapai Rp 2,2 hingga 2,3 juta. Artinya, setelah lebih dari 14 abad daya beli dinar tetap.

Lalu bagaimana implementasi dinar dalam perekonomian???

Implementasi gold dinar dapat dilakukan dalam 2 hal yaitu transaksi perdagangan internasional dan transaksi domestik. Dalam hal transaksi perdagangan internasional diwujudkan dengan proses ekspor dan impor dua negara atau lebih yang telah sepakat untuk bertransksi dengan intrumen emas (Bilateral Payment Arrangement).

Dengan metode ini risiko kurs akan sangat minimal dan juga tidak ada unsur spekulasi (gharar) dan menghindari moral hazard traders dengan memanfaatkan keuantungan ganda akibat selisih nilai tukar (kurs). Dalam hal transaksi domestik misalnya dengan sistem pembayaran elektronik (electronic payment system) seperti sistem pada kartu debit.

Kedua transaksi di atas memang mensyaratkan tersedianya emas pada akun kustodian. Kustodian berperan sebagai lembaga perantara dalam pertukaran aset emas dan merupakan institusi atau lembaga yang tidak berdasar sistem bunga (riba) dan tidak berdasar sistem fiat money dalam transaksi ekonominya. Misalnya Islamic Development Bank (IDB) atau Bank of England.

Namun demikian harus diakui bahwa ‘Dinar Emas’ juga memiliki kelemahan-kelemahan. Seperti harganya yang juga berfluktuasi dan biaya produksinya cukup tinggi. Namun, setidaknya dunia dan umat manusia masih punya pilihan dan harapan akan adanya sistem moneter internasional yang dapat memberikan keadilan yaitu berupa stabilitas nilai serta memberikan suatu pemahaman bahwa system fiat money yang saat ini diterapkan mengakibatkan efek serius pada perekonomian global. Dengan demikian ‘Dinar Emas’ sangatlah mungkin diterapkan dan penerapannya menunggu komitmen dan perjuangan kita bersama.

Penulis adalah Kandidat Master International Islamic University Malaysia (IIUM), Direktur Humas Islamic Economic Studies for Indonesia Development (ISEFID) Kuala Lumpur.

0 komentar:

Posting Komentar