Allah Swt berfirman, “Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan
janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya,
dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya”.
(Q.S. Al A’raaf 7 : 85)
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam
kebajikan dan takwa, jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran,
dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
(QS. Al Maidah : 2)
Fulus (jamaknya: fals) artinya koin yang
nilainya di bawah logam selain emas dan perak, umumnya perunggu atau tembaga,
dalam bahasa Yunani di sebut follis.
Fulus Buatan
Yahudi
Ketika Islam telah mencapai negeri Syam, para saudagar yahudi
mendatangi Khalifah Umar bin Khatthab ra yang kala itu sedang muhibah ke
Yerussalem, Palestina. Mereka memohon agar khalifah memberi kelonggaran bagi
tradisi pasar yahudi yang menjadikan fulus sebagai uang. Beliau memberi izin
diterbitkannya fulus, dan hanya boleh beredar di komunitas Yahudi di Palestina
dan Syiria. Maka mereka mencetak koin fulus perunggu dengan desain tiruan dirham
Sasanid yang ditambahi lafadz arab kuffi “Amirul Mu’minin”, pada tahun 16
Hijriah/637 Masehi. Dalihnya untuk menghormati khalifah. Namun mereka sepakat,
bahwa untuk membayar jizyah dan kharaj, wajib menggunakan dinar atau dirham.
Akhirnya fulus tersebut beredar juga di Mesir. Karena menyandang cap bertuliskan
Amirul Mu’minin, orang-orang mengira bahwa koin itu resmi dicetak oleh pusat
imarah (pemerintahan) Islam, sebab istilah Amirul Mu’minin diperkenalkan oleh
Umar Ibn Khattab ra.
Di Mesir, koin fulus menjadi begitu populer di
masyarakat golongan bawah, sedangkan di Palestina dan di Syiria, para saudagar
yahudi mengekpornya ke luar wilayah karena yahudi kelas bawah sendiri kurang
meminati koin ini. Sebab sejak dikuasai oleh Islam, tiga wilayah eks Romawi ini
menjadi makmur, karena khalifah dan jajarannya menegakkan keadilan di sana
sehingga membawa maslahat bagi semua orang.
Kaum yahudi yang umumnya
pedagang meningkat taraf hidupnya, hingga mereka tidak membutuhkan fulus dan
segera membuangnya dengan mengupah pekerja mereka berupa koin tembaga
ini.
Mendengar kabar bahwa di Mesir banyak kaum muslimin menggunakan
fulus untuk transaksi muamalah, khalifah menjadi cemas kalau nantinya fulus
dapat menyusup masuk ke Haramain (Mekkah dan Madinah).
Untuk melarang
fulus yang sudah terlanjur beredar di masyarakat tidaklah mungkin. Sebab akan
sangat merugikan banyak orang terutama kaum dhuafa, karena merekalah sasaran
utama yahudi dalam mengedarkan fulus buatannya.
Dengan bijak, khalifah
Umar ra segera mencetak koin dirham Islam pertama pada tahun 20 Hijriah/641
Masehi, kemudian diekspor ke Mesir. Bersamaan dengan itu serpihan perak
berukuran daniq turut pula diedarkan untuk meredam fulus hingga kebiasaan ini
diikuti oleh khalifah berikutnya.
Umat Islam Ikut Yahudi hingga
Lubang Biawak
Pertanyaan : Lebih berharga mana?
Uang logam Rp 2
tahun 1970 dengan uang logam Rp 100 Tahun 1990
Jawabannya pasti koin 100
karena kita terbiasa menghitung uang seperti token yaitu hanya melihat
gambarnya, tidak perduli kadar zat dan beratnya. Padahal kalau kita lihat kedua
koin di atas terbuat dari bahan yang sama.
Koin Rp 2 terbuat dari
aluminium dengan berat 2,29 gram dan koin Rp 100 terbuat dari aluminium dengan
berat 1,79 gram. Jadi, kalau melihat dari takaran (kadar zat) dan timbangan
(berat) maka yang lebih berharga adalah koin Rp 2.
Biaya buatnya makin
murah tapi angkanya makin ditambah. Kelihatannya makin makmur (angkanya makin
banyak), padahal makin miskin (kadar zat dan berat uangnya semakin
berkurang).
Krisis Mamluk Akibat Fulus
Pada masa
Sultan Kamil Ayyubi, tahun 609 H, fulus resmi pertama kali dicetak oleh imarah
(pemerintahan) Islam, yang diedarkan sebagai uang bantu atau recehan, setelah
ratusan tahun diboikot oleh para khalifah sejak zaman Umar bin Khattab ra. Fals
yang jamaknya fulus
Saat pertama kali diedarkan kembali, nilai tukar 1
Dirham = 6 daniq = 24 fulus. Kala itu ulama langsung memprotes kehadiran fulus
meski koin tersebut menyandang stampel sultan sehingga fulus menjadi kurang
populer di masyarakat.
Baru pada masa Dinasti Mamluk (Mesir), Sultan
Zhahir Barquq dan anaknya, Sultan Faraj bin Barquq (1399 – 1412 M), fulus
menjadi populer. Pencetakan uang fulus tembaga menjadi pemasukan utama kas
kerajaan. Fulus diedarkan sebagai mata uang bantu (receh) pecahan dirham dan
daniq. Dibandingkan dengan yang dihasilkan dari pembuatan dinar dan dirham,
pencetakan fulus lebih menguntungkan, karena nilai nominalnya lebih tinggi dari
intrinsik bahannya atau yang lazim disebut Seigniorage, dibandingkan dengan
yang dihasilkan dari pembuatan dinar dirham
Untuk memproduksi fulus,
kerajaan menarik semua Dinar Dirham lama dari peredaran, kemudian diekpor ke
Eropa untuk membeli tembaga dalam jumlah besar, agar mendapatkan keuntungan yang
berlimpah.
Memang dalam jangka pendek, dengan beredarnya fulus, kerajaan
menjadi tampak lebih makmur, anggaran belanja militer dan segala proyek
pemerintah yang dibiayai oleh koin-koin tembaga ini meningkat tinggi. Gaji
tentara dan pegawai dinaikan, roda perekonomian bergerak lebih menggairahkan,
karena uang berada di mana-mana, memicu rakyat untuk lebih produktif dalam
membuat beraneka barang dan jasa.
Tapi di balik keberhasilan tersebut ada
yang luput dari perhatian sultan, yaitu terjadinya inflasi nilai uang, dengan
naiknya harga barang dan jasa. Pemerintah mengatasi hal ini dengan menaikkan
gaji tentara dan pegawainya, bahkan memberi bantuan uang tunai langsung bagi
kaum dhuafa.
Caranya dengan merevisi nilai fulus, yakni merubah stampel
koin dari bernominal 1 fulus menjadi 2 fulus pada ukuran koin tembaga yang
nyaris sama yang dilebur ulang. Jelas, ini adalah perampokan besar-besaran
terhadap jerih payah rakyat yang disimpan dalam bentuk koin tembaga, karena
sebagai logam beratnya nyaris sama tetapi harganya dibuat menjadi dua kali lipat
dari koin semula.
Begitu pula seterusnya, pemerintah terus mencetak fulus
dalam berbagai nominal. Penduduk diwajibkan untuk menilai fulus dari nominal
yang tertera bukan dari bobot logamnya, yang disebut koin token atau uang
tanda.
Inflasi mulai tak terkendali, sebab pemerintah terus memproduksi
fulus, katanya untuk mengatasi lonjakan harga-harga. Sultan bahkan mulai
menangkapi pedagang yang menaikan harga dagangannya, dan mereka dituding sebagai
biang kerok rusaknya ekonomi.
Tapi rezim penguasa lupa, bahwa justru
kebijakannya yang menjadi akar masalah dengan melimpahnya fulus. Karena uang
fulus terus merosot nilainya, rakyat menjadi gusar, Dinar Dirham yang tersisa
ramai-ramai dilebur menjadi perhiasan, bahkan menjadi pelana dan
bejana.
Ketika kemarau panjang terjadi, menyebabkan kekeringan dan gagal
panen, hewan ternak mati kehausan dan kelaparan, penduduk mendesak pemerintah
untuk segera mengimpor bahan pangan dari luar negeri.
Tapi impor pangan
terancam gagal total, lantaran kerajaan tidak memiliki emas perak yang cukup,
karena kas negara hanya terisi oleh koin-koin tembaga yang dihargai sangat murah
di mancanegara, itupun harus dijual dengan loakan secara timbang logam.
Akibatnya pangan sulit didapat, kalaupun ada, harganya terus membumbung
tinggi.
Untuk mengatasi keuangan negara yang kian kritis, sultan menaikan
harga sewa lahan, padahal petani dan peternak sudah tak memiliki uang lagi –
habis untuk mempertahankan hidup. Mulailah timbul pemberontakan di mana-mana,
sementara rezim penguasa mengatasinya dengan tangan besi dan menuding mereka
sebagai khawarij.
Padahal siapa yang memulai bencana ini? Kondisi semakin
parah, sebagian rakyat di pedalaman meninggalkan desa-desa mereka, dan
membiarkan ladang-ladang menjadi tandus tak terurus. Mereka terpaksa hijrah ke
negeri muslim lainnya, karena terancam mati kelaparan dan tak sanggup lagi
membayar sewa.
Para pengungsi Mesir banyak yang wafat di perjalanan,
karena kehabisan bekal, terutama yang masih balita atau karena berusia lanjut.
Setibanya di perantauan, sebagian dari mereka yang tidak memiliki pekerjaan,
langsung berprofesi menjadi pengemis dan gelandangan. Bagi mereka yang terlalu
miskin, terpaksa harus bertahan di desanya, menikmati kelaparan, hidup dan mati
sama saja bagi mereka. (Al Maqrizi, Iqhathat al Ummah bi Kashf al
Ghummah)
Al Maqrizi mengungkapkan kelaparan ini dalam kitabnya Iqhathat
al Ummah bi Kashf Al Ghummah. Beliau menerangkan penyebab utama inflasi keuangan
yang mendorong naiknya harga-harga, adalah fenomena fulus yang menggantikan
dirham sebagai hukum ekonomi : uang yang jelek menyingkirkan uang yang baik,
yang dikenal dengan Hukum Gresham. Menisbatkan hukum ini kepada Gresham tidaklah
benar, karena Al Maqrizi wafat tahun 1442 M sedangkan Gresham wafat tahun 1579
M, suatu rentang masa selama 150 tahun
lebih.
Kesimpulan
Dari kesimpulan di atas maka
sepertinya kita ini hidup makin makmur, padahal sebetulnya makin miskin karena
angkanya semakin banyak tapi kadar dan berat zat uangnya semakin berkurang.
Dengan memakai fulus maka riba tumbuh dengan subur dan mematikan
infak.
Krisis dan azab akan terus berlangsung selama tidak mengikuti
aturan Allah dan Rasul-Nya. Maka kalau ingin terhindar dari azab riba maka
segeralah kembali kepada fitrah mata uang yaitu Dinar emas dan Dirham perak. (sumber: Thoriq/ IMN/2007)
0 komentar:
Posting Komentar